Jayagiri Tempo Doeloe
Oleh @kangope
“Melati dari Jayagiri
Kuterawang keindahan kenangan
Hari-hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih
Ku ingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kau biarkan ku kecup bibirmu
Mentari kelak kan tenggelam
Gelap kan datang
Dingin mencekam
Harapanku bintang kan terang
Memberi sinar, dalam hatiku..”
Sebuah tembang lawas ciptaan Iwan Abdurahman yang dipopulerkan oleh Bimbo di tahun 1970an lalu menceritakan keindahan alam Jayagiri. Bagaimana tidak indah, Jayagiri telah menjadi destinasi favorit para petualang Eropa sejak dulu. Sebut saja Franz Wilhelm Junghuhn (1809 – 1864) sejak injakkan kaki di tanah Hindia, serta menjelajahi dataran Sumatera dan Jawa, pada akhir hayatnya ia habiskan hidupnya di Jayagiri bersama istri tercinta.
Menurut penuturan orang tua penulis, Jayagiri era 70’an adalah kawah candradimuka bagi para vokalis dari kelas tujuh belas agustusan hingga kelas panggung rock. Kawasan hutan sekunder yang masih terawat dengan baik dan hawanya yang sejuk dengan kondisi sepi serta jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, menjadi tempat yang cocok untuk melatih suara mereka.
Bersama Lembang heritage, penulis turut serta menjelajahi Jayagiri Tempo Doeloe. Titik kumpul pertama di sekitar alun-alun Lembang, sebagaimana diketahui bersama bahwa model alun-alun adalah sebuah simbol warisan Mataram di tanah Priangan. Sejatinya Lembang berawal dari hiruk pikuk aktivitas perkebunan kopi, kemudian berkembang menjadi sebuah hunian dari berbagai suku bangsa. Jayagiri sendiri merupakan hunian pertama di Lembang Tempo Doeloe. Tercatat Onderneming Djajagiri yang diinisiasi keluarga Janzs asal Jerman membuka usaha perkebunan kina dan kopi.
Rumah pertama di Jayagiri hingga kini masih ada walaupun hanya berupa reruntuhan saja, masyarakat sekita mengenalnya dengan istilah BUMI TONGGOH. Di sebrang rumah tonggoh terdapat rumah yang asri dihuni keturunan Famili Janzs. Turun sedikit kita menemukan BUMI TENGAH yang masih tampak terawat dengan baik, namun kemungkinan besar kepemilikannya akan segera dilepas oleh sang pemilik. Dan rumah ketiga pertama adalah BUMI LEBAK yang tepat berada di depan sebuah lapangan sepakbola. Pada tahun 1949 lapangan ini tetiba saja menjadi headline news akibat sebuah peristiwa pembunuhan yang berada tepat di lapangan ini. Adalah Aernout seorang perwira KNIL yang tengah menyelidiki kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat tinggi di Hindia Belanda. Kisahnya ini dibukukan dalam sebuah novel berjudul “De Zaak Arneout”.
Jayagiri sebagaimana dikisahkan di awal, menjadi tempat perkebunan kina, sebuah komoditi perkebunan yang masyhur dahulu sebagai obat penawar penyakit malaria. Klinik Malaria pertama di Jayagiri masih dapat kita nikmati sampai sekarang dengan model rumah pegunungan yang dilengkapi oleh cerobong asap. Rumah tersebut kini menjadi bagian tak terpisahkan dari Puskesmas Jayagiri.
Beranjak dari situ kami mengunjungi Taman Hutan Raya Junghuhn, sejatinya sebuah hutan adalah sebuah tempat dimana terhimpun ribuan pepohonan yang hijau dalam hamparan luas. Namun yang kami dapati hanyalah sepetak lahan yang dihimpit padatnya perumahan warga sekitar. Luas yang tercatat secara resmi memang 2,5 Ha, namun kenyataannya lokasi tersebut menjadi oase bagi lingkungan sekitarnya. Bandingkan dengan kondisi 100 tahun lalu, dimana tempat ini menjadi tempat yang sangat nyaman menjadi peristirahatan terakhir si Humboldt-nya Jawa.
Sumber : https://lembangheritages.wordpress.com/2016/05/19/jayagiri-tempo-doeloe/
ConversionConversion EmoticonEmoticon